Ukhuwah Mereka
”Dan orang orang yang menempati kota madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan oleh mereka (orang muhajirin). Dan mereka mengutamakan orang-orang muhajirin di atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al Hasyr: 9)
Dalam kehidupan menjalani hari-hari bersama tuntunan dan ajaran islam, sisi kehidupan manusia memang tidak pernah lepas dari tuntunan ajaran islam yang memperhatikan seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak ada yang lepas dari sentuhan islam. Sejarah Rosulullah dan sahabat telah mencerminkan kehidupan itu. Itulah sebuah persaudaran indah yang tiada duanya di muka bumi ini. Kisah nyata yang begitu membuat jiwa bergetar akan makna ukhuwah islamiyah yang sesungguhnya. Itulah kisah Muhajirin dan Anshor.
Ketika iman sudah tertanam dalam hati, orang lain yang jauh pun bisa menjadi saudara dekat. Ukhuwah, persaudaraan yang dibangun atas dasar iman, memang tak kenal batas. Apalagi ras, suku, bahkan negara. Betapa banyak orang yang tak punya hubungan darah dan kerabat. Tetapi menjadi saudara lantaran iman yang menyatukan hati mereka. Iman memang bisa mengubah segalanya, bermula dari hati, segala akan bisa berubah. Begitulah perubahan pribadi yang dialamai sahabat Rosulullah saw. Kisah yang tak pernah terlupakan. Ketika satu demi satu sahabat muhajirin dipersaudarakan dengan kaum anshor: Ja’far bin Abi Tholib dipersaudarakan dengan Zaid bin Haritsah, Abu Bakar ash-Shiddiq dengan Khorijah bin Zuhair, Umar bin Khottob dengan ’Utbah bin Malik dan Abdurrahman bin Auf dengan Saad bin Robi’. Satu demi satu pula kaum muhajirin menempati rumah sahabat anshor, perasaan bahagia dan bangga tanpa rasa beban sedikitpun menghiasi wajah-wajah masyarakat anshor. Menyediakan tempat tinggal untuk saudara-saudara mereka, menyediakan makan dan minum buat saudara mereka walaupun seadanya, walau sebenarnya mereka sendiri membutuhkan. Bukan karena unsur apa-apa. Namun hanya karena iman dan rasa persaudaraan yang mendalam mengharapkan keridhoaan Allah semata.
Ada kisah menarik yang begitu menyentuh. Suatu hari seorang sahabat rosulullah Abu Tholhah dan istrinya belum sedikitpun mencicipi makanan. Rasa lapar mendera perut mereka. Siang itu Abu Tholhah memang tidak mendapatkan cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Seperti hari biasanya, sudah sangat sering hal itu terjadi. Ketika senja tiba Rosulullah kedatangan seorang tamu. Rosulullah menanyakan kepada istrinya Aisyah, ”Apakah kita mempunyai sedikit makanan untuk menjamu tamu kita”? Aisyah menjawab : ”Kita tidak punya apa-apa wahai Rasulullah”. Lalu Rosulullah menanyakan kepada istri-istrinya yang lain. Namun jawaban mereka seperti halnya juga jawaban Aisyah ra. Lalu Rosulullah bertanya kepada para sahabatnya: ”Siapakah yang bersedia menjamu tamuku pada malam hari ini?” Tanpa menunggu-nunggu ada di antara para sahabat yang mengangkat tangan mengatakan kesediaan mereka. Seorang sahabat mengatakan: ”Saya Wahai Rosulullah”. Ia Abu tholhah ra. Lalu setelah sholat isya Abu Tholhah pulang bersama tamunya. Ketika tiba di rumahnya Abu Tholhah meminta istrinya untuk menyiapkan makan malam. Dengan sedih istrinya menjawab : ”Kita tidak punya apa-apa wahai suamiku kecuali sedikit makanan untuk anak kita”. Setelah Abu tholhah berpikir sejenak ia berkata kepada istrinya: ”Tidurkan anak kita, lalu siapkan makan malam buat tamu kita, ketika akan makan, lalu padamkanlah lampu”. Ketika tamu Abu Tholhah akan makan, lampu dipadamkan lalu Abu Tholhah mengecap-ngecapkan mulutnya seakan ikut makan bersama tamunya. Setelah makan lalu Abu Tholhah mengantarkan tamunya untuk beristirahat. Begitu shubuh tiba mereka sholat shubuh berjamaah di masjid Nabawi, ketika melihat Abu tholhah Rosulullah tersenyum lalu berkata: ”Wahai Abu Tholhah Sesungguhnya Allah amat kagum melihat apa yang telah engkau perbuat tadi malam”.
Begitu indahnya ukhuwah yang landasannya benar-benar karena ikatan aqidah. Ikatan yang abadi karena Allah semata. Ya kawan, ketika kau berbicara uhkuwah. Belajarlah dari mereka, mereka yang langsung dididik oleh Rosulullah. Merekalah kaum Muhajirin dan Anshar.
sumber: siroh nabawi,.