Dilema Si ABang Tahu
Matahari sudah benar-benar
condong ke barat ketika saya sampai di rumah. Lalu lintas kota Bandar Lampung
sore itu ramai sekali. Beberapa titik bahkan sampai benar-benar padat. Saya menemukan
rumah dalam keadaan kosong. Bapak sama ibu pasti sedang berkunjung ke kosan,
mengengok anak-anak abg yang kelakuan absurdnya cukuplah untuk menyemarakkan
sore mereka. Setelah membersihkan muka dari debu-debu jalanan dan sisa bedak pagi
tadi, saya pun ngaso di depan kipas angin sambil ngunyah wafer selam*t. Tiba-tiba
di depan rumah terdengar klakson-klakson yang dilanjutkan dengan teriakan khas
si abang tukang tahu,
“Tahuuu, Tahuuu”
Jadi, di perumahan kami, setiap
sorenya akan ada penjaja tahu yang keliling menawarkan tahu dan susu kedelai. Awal-awal
saya sampai di Lampung, saya fans papan atasnya susu kedelai abang tahu ini. Tapi
sekarang saya udah biasa saja gitu dengan susu kedelainya. Daan, si abang
tukang tahu ini akan terus mengklakson di depan rumah hingga ada orang yang
menyahut, membeli tahunya atau menolak membeli tahunya karena persediaan tahu
masih ada.
Naah, kondisinya sore itu tidak
ada yang mungkin memberikan jawaban kepada abang tahu yang sedang teriak-teriak
dengan nada crescendo di depan rumah sambil mengklakson-klakson yang sepertinya
kalo saya biarkan mungkin akan terus seperti itu sampai subuh (ini saya yang
lebay :), selain saya. Membelinya atau menolaknya. Dan kalo saya yang harus
menemui si abang tukang tahu, entah untuk membeli tahu atau menolak membeli
tahu, berarti saya harus keluar rumah. Dan kalo saya harus keluar rumah, berarti
saya harus memakai rok panjang, kemudian mengambil jaket di balik pintu dan
memakainya, lalu mengenakan jilbab langsungan, terus mencari-cari kaos kaki
yang kadang saya lempar terlalu jauh ke bawah ranjang baruu bisa keluar rumah. Intinya
banyak yang harus saya persiapkan. Sebenarnya,
dari hati yang paling dalam, saya enggan sekali melakukan hal-hal yang saya
sebutkan itu ditengah-tengah ritual
ngaso sambil ngunyah wafer saya yang berharga. Bisa saja sih saya langsung
menyambar mukena, memakainya dan keluar, tapi terakhir kali saya keluar rumah
pakai mukena begitu, pandangan sang tamu yang saya temui seperti mengatakan
“Mbak nya aliran apa sih? Kemana-mana pake mukena”
Akhirnya saya putuskan untuk
berpura-pura tidur. Tapi yang saya tak faham, kenapa pula saya benar-benar
mengambil posisi tidur sambil tidak lupa memejamkan mata. Padahal manalah si
abang tahu ini liat apa yang sedang saya lakukan di dalam rumah. Posisi tidur
sambil memejamkan mata itu bertahan hingga teriakan plus klaksonan itu benar-benar hilang. Lalu saya pun bangun dan melanjutkan makan wafer sambil
menertawakan kelakuan absurd itu. Hingga saat ibu bapak pulang dan ibu membuka
kulkas hendak masak makan malam
“De, tadi gak beli tahu?”
“Enggak”
“Abang tahunya gak lewat?”
“Lewat tadi”
“Trus kenapa nggak dibeli”
“Enggak, aku pura-pura tidur”
“-__-“
Ah, saya jarang-jarang kok
melakukan hal absurd seperti itu. Enjoy :D