Senin, 15 Desember 2014


Matahari sudah benar-benar condong ke barat ketika saya sampai di rumah. Lalu lintas kota Bandar Lampung sore itu ramai sekali. Beberapa titik bahkan sampai benar-benar padat. Saya menemukan rumah dalam keadaan kosong. Bapak sama ibu pasti sedang berkunjung ke kosan, mengengok anak-anak abg yang kelakuan absurdnya cukuplah untuk menyemarakkan sore mereka. Setelah membersihkan muka dari debu-debu jalanan dan sisa bedak pagi tadi, saya pun ngaso di depan kipas angin sambil ngunyah wafer selam*t. Tiba-tiba di depan rumah terdengar klakson-klakson yang dilanjutkan dengan teriakan khas si abang tukang tahu,

“Tahuuu, Tahuuu”

Jadi, di perumahan kami, setiap sorenya akan ada penjaja tahu yang keliling menawarkan tahu dan susu kedelai. Awal-awal saya sampai di Lampung, saya fans papan atasnya susu kedelai abang tahu ini. Tapi sekarang saya udah biasa saja gitu dengan susu kedelainya. Daan, si abang tukang tahu ini akan terus mengklakson di depan rumah hingga ada orang yang menyahut, membeli tahunya atau menolak membeli tahunya karena persediaan tahu masih ada.

Naah, kondisinya sore itu tidak ada yang mungkin memberikan jawaban kepada abang tahu yang sedang teriak-teriak dengan nada crescendo di depan rumah sambil mengklakson-klakson yang sepertinya kalo saya biarkan mungkin akan terus seperti itu sampai subuh (ini saya yang lebay :), selain saya. Membelinya atau menolaknya. Dan kalo saya yang harus menemui si abang tukang tahu, entah untuk membeli tahu atau menolak membeli tahu, berarti saya harus keluar rumah. Dan kalo saya harus keluar rumah, berarti saya harus memakai rok panjang, kemudian mengambil jaket di balik pintu dan memakainya, lalu mengenakan jilbab langsungan, terus mencari-cari kaos kaki yang kadang saya lempar terlalu jauh ke bawah ranjang baruu bisa keluar rumah. Intinya banyak yang harus saya persiapkan. Sebenarnya, dari hati yang paling dalam, saya enggan sekali melakukan hal-hal yang saya sebutkan itu ditengah-tengah  ritual ngaso sambil ngunyah wafer saya yang berharga. Bisa saja sih saya langsung menyambar mukena, memakainya dan keluar, tapi terakhir kali saya keluar rumah pakai mukena begitu, pandangan sang tamu yang saya temui seperti mengatakan

“Mbak nya aliran apa sih? Kemana-mana pake mukena”

Akhirnya saya putuskan untuk berpura-pura tidur. Tapi yang saya tak faham, kenapa pula saya benar-benar mengambil posisi tidur sambil tidak lupa memejamkan mata. Padahal manalah si abang tahu ini liat apa yang sedang saya lakukan di dalam rumah. Posisi tidur sambil memejamkan mata itu bertahan hingga teriakan plus klaksonan itu benar-benar hilang. Lalu saya pun bangun dan melanjutkan makan wafer sambil menertawakan kelakuan absurd itu. Hingga saat ibu bapak pulang dan ibu membuka kulkas hendak masak makan malam

“De, tadi gak beli tahu?”
“Enggak”
“Abang tahunya gak lewat?”
“Lewat tadi”
“Trus kenapa nggak dibeli”
“Enggak, aku pura-pura tidur”
“-__-“

Ah, saya jarang-jarang kok melakukan hal absurd seperti itu. Enjoy :D

Purnama Menatap Dunia . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates