Kamis Dua Hari yang Lalu
Siang itu,
di tengah hiruk pikuk kegiatan mahasiswa tingkat akhir sepertiku, kusempatkan
untuk mengisi kekeringan ruhiyah ini. Mengaji, kata itulah yang paling sering
kusebutkan ketika ada yang bertanya kemanakah aku akan pergi di tengah siang
yang terik itu. Sebuah rumah berpagar hijau yang terletak di bilangan demak ijo
itulah tujuan ku siang itu. Bersama munir yang spion kanan nya masih belum juga
(sempat) kuperbaiki, membelah ringroad dari utara sampai hampir barat.
Ada yang berbeda di kelompok mengajiku yang
sekarang. Teman teman seperngajian sih tak jauh berbeda, sama sama mahasiswa
tingkat akhir yang mengejar sepotong gelar untuk belakang nama nya. Hampir semua
mahasiswa perantauan yang jauh dari orangtua. Sama sama makhluk yang rame, tapi
tentu dengan karakter dan sifat yang nano nano. Yang berbeda adalah guru
ngajiku. Baru kali ini kudapatkan guru mengaji dengan bilangan umur kelipatan
tiga. Dari umur saja sudah berbeda, tentu saja hal hal yang mengikutinya juga
berbeda. Mulai dari lokasi mengaji yang tak lagi safari dari masjid ke masjid,
sampai ada makhluk lucu (?) yang ikut mengaji setelah bangun dari tidur
siangnya.
Bilangan pekan
beliau membersamai kami membuatku berfikir banyak tentang pembinaan ini. Hampir
enam tahun merasai dibina dan sepertiganya membina harusnya sudah begitu banyak
hal yang didapatkan. Namun ketika merefleksikan kepada diri yang dhaif ini,
sungguh masih sangat dangkal ilmu yang sebenarnya dimiliki. Hafalan quran masih
jauh dari target, apalagi hafalan hadist. Materi materi keislaman hanya sebatas
tau judulnya saja, aplikasi nyatanya masih setengah isi setengah kosong.
Lemah kemauan.
Dua kata yang kusimpulkan dari semua refleksi yang hadir di cermin perenungan
itu. Sedangkan jika melihat keluar sana, ada begitu banyak sosok hebat dengan
segudang kemampuan yang ia miliki. Almarhumah Yoyoh Yusroh misalnya (semoga
Allah merahmatinya), dengan semua aktivitasnya yang luar biasa padat itu,
beliau masih tetap menggenapkan bilangan tilawah hariannya satu juz minimal. Tak
usah jauh jauh, ibu dan mbah putri ku yang sangat kucintai itu hampir setiap
malamnya diisi dengan rangkaian qiyamul lailnya yang panjang. Yang kutau dengan
pasti bahwa siangnya mereka tak kalah semangat dengan orang yang semalaman
hanya tidur dipeluk mimpi. Lemah kemauan itulah yang kemudian membuat lupa
bahwa hafalan quran masih belum mencapai target, hafalan hadis hanya sepotong
sepotong, keilmuan juga belum ada yang dikuasai hingga akhirnya pasrah dalam
ketidaktahuan.
Semua kemampuan
tidak lah menjadi berarti ketika kemauan yang dimiliki lemah, ibarat mobil
mewah yang tidak akan bisa jalan tanpa bahan bakar yang cukup. Sama saja dengan
peluang dan kesempatan, menjadi sia sia jika kemauan itu tidak ada. Padahal kesempatan
kedua tidak akan sama dengan kesempatan yang pertama. Ada kisah tentang seorang
penuntut ilmu yang memiliki kemauan yang luarbiasa kuat, ialah Baqi bin Makhlad Al-Andalusi Baqi bin Makhlad Al-Andalusi yang mencari Imam Ahmad bin Hanbal ke
Baghdad setelah menempuh perjalanan jauh dari kampung halamannya di Andalusia
untuk belajar langsung ke beliau. Atau kisah Salman Al Farisi yang mencari
kebenaran dari Persia hingga ke Madinah. Keduanya mendapat apa yang menjadi
tujuannya dengan kemauan yang kuat dan tentu saja dengan melebihkan usaha dari
yang orang orang biasa lakukan.
Wahai diri,
taukah engkau bahwa lemah kemauan itu sangat dekat dengan kemunafikan. Bahkan ummat
yang terdahulu pintar sekali mencari cari alasan karena lemahnya kemauan mengerjakan
ketaatan. Karena ketaatan tak cukup dengan kata saja.
Sampai akhirnya guru mengajiku pernah berkata,
pembinaan ini bukanlah segala-galanya tapi segala-galanya bisa saja berawal
dari pembinaan. Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu. Teruslah
berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu. Teruslah bertahan, hingga
kefuturan itu futur menyertaimu. Teruslah berjaga, hingga kelesuan itu lesu
menemanimu. Kalaulah iman dan syetan terus bertempur, pada akhitnya salah
satunya harus mengalah. (Guru ngajinya para guru ngaji, Ust. Rahmat Abdullah)
“Ya
Allah ya Tuhan kami, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu daripada keluh kesah
dan dukacita, aku berlindung kepada-Mu dari lemah kemauan dan malas, aku
berlindung kepada-Mu daripada sifat pengecut dan kikir, aku berlindung
kepada-Mu daripada tekanan hutang dan kezaliman manusia.” (HR
Abu Dawud 4/353)