Jemputlah Tulang Rusukmu yang Lain
“Seperti
kalau makan jengkol. Saya tidak suka makan jengkol karena baunya. Tetapi bukan
berarti saya mengatakan jengkol itu haram”
Itulah
analogi yang disampaikan seorang Anna Althafunnisa kepada calon suaminya ketika
mengajukan syarat tentang poligami di film Ketika Cinta Bertasbih. Sedikit aneh
menurutku ketika poligami yang merupakan syariat Allah dianalogikan dengan
urusan makan jengkol. Sepertinya mbak Anna belum tau cara pengolahan jengkol
untuk mengurangi asam jengkolat pada jengkol.
Poligami,
isu yang banyak dihindari oleh sebagian orang, karena selain syariat, ranah
bahasannya mau tidak mau menyangkut perasaan. Wanita mana sih yang mau cintanya
dibagi, wanita mana sih yang mau dimadu. Bahkan pihak laki-laki rasional juga
banyak yang menghindar dari pembahasannya. Mengapa saya selipkan kata-kata
rasional disini, jelas jika di rasionalisasikan ada begitu banyak syarat yang
harus dipenuhi untuk menjalankan sunnah rosul yang satu ini. Allah telah jelas
menyebutkan Adil sebagai salah satu syarat terpentingnya (QS. An Nisa 3). Tapi
tentusaja kita semua pasti sudah sepakat bahwa adil tidak akan selalu berarti
sama rata kan.
Meskipun
ini jelas merupakan syariat yang jelas tertulis dalam Al Quran, tapi tetap saja
banyak pihak yang masih menganggap bahwa poligami merupakan suatu momok yang
sangat menakutkan dalam kehidupan rumah tangga. Bahkan seorang da’i kondang
harus rela ditinggalkan “penggemarnya”, yang kebanyakan ibu-ibu, karena
persoalan poligami ini. Tak heran jika masyarakat kita saat ini menganggap
poligami suatu momok yang menakutkan, karena memang yang lebih banyak dibahas
di ruang publik adalah sisi-sisi hitam nya saja. Pernahkan mendengar ada dua
orang wanita yang kemudian menjadi sahabat justru karena diikat oleh sebuah
syariat bernama poligami itu. Pernahkah mendengar ada dua suku yang didamaikan
karena adanya poligami.
Sedikit
ternganga ketika ada seorang istri sekaligus ibu bercerita tentang kegigihannya
mendorong suaminya untuk melakukan poligami. Bukan, bukan karena sang istri
sudah tak cinta dengan suaminya. Justru karena kecintaannya itulah, melihat
pekerjaan suaminya yang PJKA alias Pergi Jumat Kembali Ahad, beliau sadar betul
dengan kondisi suaminya. Mungkin poligami bisa menjadi solusinya. Namun yang
membuat mulut saya ternganga makin lebar adalah jawaban sang suami.
“Dapetin
Ummi aja susah”
Gubrakk,.
Jawaban yang tidak disangka sangka dan jelas saja membuat sang istri senyum
senyum malu. Beruntungnya saya mendapat kesempatan lebih jauh membicarakan hal
ini dengan sang istri yang unik tadi. Beliau seperti mendobrak semua pendapat
melow yang pernah ada tentang pologami. Salah satu pendapat yang paling saya
ingat adalah, justru sang suami akan bertambah cintanya kepada istri pertama. How
come ?? #matabelok. Dalam poligami, yang namanya persaingan pastilah akan
muncul. Antara istri pertama dengan istri selanjutnya. Sebelumnya istri pertama
tidak memiliki “pembanding” dalam melayani sang suami, sehingga mungkin yang
diberikan hanya seadanya saja. Ketika hadir istri kedua, mau tidak mau istri
pertama akan berusaha sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik kapada suami,
secara ada saingannya gitu kan. Masih menurut sang istri unik tadi (gimana kalo
kita sebut saja mbak istri, kekeke) sang suami kemudian akan merasa begitu
bersyukur dengan istri pertamanya. Sebagai istri pertama, dia lah yang lebih
faham bagaimana tabiat sang suami secara ia sudah lebih lama hidup dengan sang
suami. Dengan begitu, tentu saja cinta
dan sayangnya akan bertambah besar kepada istri pertamanya. Intinya kalo mau
dipoligami, jadilah istri pertama. #plak *dipelototin ibu ibu sekampung.
Lalu
bagaimana dengan nasib istri kedua ? Istri kedualah yang akan menjadi penutup
dari kekurangan-kekurangan yang ada pada istri pertama, intinya saling
melengkapilah. Apalagi kan hati laki-laki itu luas, jika ada wanita lain bukan
berarti cintanya yang 100 persen kepada istri pertama menjadi berkurang, justru
cintanya akan ada ada 100 persen lagi untuk istri kedua. *Duileh bahasanya
cinta cintaan. #lemparduren.
Selain
itu, istri istri itu bisa saling berbagi cerita, saling menasehati, berbagi
tips atau apalah untuk rumah tangganya yang lebih baik. Saya bahkan pernah
berkelakar dengan beberapa akhwat satu lembaga, jika memang harus dipoligami
maka istri-istri yang lain maka harus akhwat-akhwat itu. Saking kami sudah “klik”
satu sama lain dan membayangkan jika menjalani “organisasi” kerumahtanggaan
bersama. Becandaan yang agak aneh memang, tapi jika kita flashback ke zaman Rosulullah dulu, istri-istri beliau ternyata
berteman baik. Mereka sportif mendukung satu sama lain. Meski tentu saja
perasaan cemburu dan semacamnya muncul ke permukaan, namun Rosulullah begitu
pandai meredamnya.
Mbak istri
tadi menambahkan, untuk pernikahan yang usianya sudah diatas sepuluh tahun
sebenarnya yang dibutuhkan lebih kepada materil. Masa masa saling kasmaran,
saling memahami itu sudah lewat kali ya. Sang istri sudah fokus mengurus
anak-anak yang menguras waktu dan tenaga. Entahlah, apa maksudnya poligami itu
sebaiknya dilakukan untuk usia pernikahan sepuluh tahun keatas atau bagaimana,
saya tak berani menafsirkan. *brb telpon ibu di rumah.
Saya kemudian
berfikir, mana sih yang lebih utama. Anak-anak atau pasangan? Kalo menurut saya
dua-dua nya sama pentingnya. Jadi tidak ada alasan untuk mengenyampingkan salah
satunya kan. Anak-anak memang perlu perhatian yang besar dalam hal menddidik
dan membesarkannya, tapi bukankah pasangan yang akan membersamai kita sampai
tua kelak disaat anak-anak sudah menemukan hidupnya sendiri. InshaAllah. *ngelap
ingus
Islam
itu indah bukan. Syari’at ini Allah turunkan dengan begitu indahnya. Entahlah mengapa
masih banyak orang secara tidak langsung lebih memilih selingkuh yang
jelas-jelas maksiat ketimbang syari’at Allah yang begitu indah ini. Dan saya
menulis ini semata karena ingin berbagi tentang sisi lain dari poligami yang
saya dengar langsung dari orang yang lebih berpengalaman. Awalnya sedikit takut
untuk mempublishnya, takut orang-orang beranggapan saya begitu siap dipoligami.
Tapi ternyata semangat berbagi mengalahkan ketakutan itu. Soal siap atau
tidaknya, saya gak suka makan jengkol juga kok. *gaya mbak Anna Althafunnisa :)
Enjoy !!!
sumber gambar : sini
8 komentar
Pertanyaannya masih sama buat para (calon) ibu: mau dimadu apa diracun?
REPLYperbedaan antara racung dengan obat sesungguhnya hanya terletak pada dosisnya sop.
REPLY^^,
iyeeh desi udh dewasa sekali... :)
REPLYsalut2, nice note.. gamsahamnida bwt notenya... :)
pertanyaannya: kapan desi mw jd istri pertama (dan yang terakhir)? heheheh...
REPLYmakasih juga dedew,
REPLYbedeweh ak kangen jailin kamu deh
kekeke
inshaAllah,
REPLYtunggu aja tanggal maennya,.
#halah
sepertiny Anda akan duluan wahai Ibu sarjana sains.:)
Jadi? Desy mau yang mana? yup, jadi ingat perbincangan mba dengan diri sendiri (kirain sama sapa^^) pada suatu hari, tentang ini. Betapa indah ya poligami...;p
REPLY#pura2 gak baca prtanyaannya mb uzi
REPLY^^
haha
mb zi suka ngobrol sama diri sndiri yak
sip sip
sudah ada bayangan nih si mbak sholihah
:D