Senin, 28 Mei 2012



“Seperti kalau makan jengkol. Saya tidak suka makan jengkol karena baunya. Tetapi bukan berarti saya mengatakan jengkol itu haram”

Itulah analogi yang disampaikan seorang Anna Althafunnisa kepada calon suaminya ketika mengajukan syarat tentang poligami di film Ketika Cinta Bertasbih. Sedikit aneh menurutku ketika poligami yang merupakan syariat Allah dianalogikan dengan urusan makan jengkol. Sepertinya mbak Anna belum tau cara pengolahan jengkol untuk mengurangi asam jengkolat pada jengkol.

Poligami, isu yang banyak dihindari oleh sebagian orang, karena selain syariat, ranah bahasannya mau tidak mau menyangkut perasaan. Wanita mana sih yang mau cintanya dibagi, wanita mana sih yang mau dimadu. Bahkan pihak laki-laki rasional juga banyak yang menghindar dari pembahasannya. Mengapa saya selipkan kata-kata rasional disini, jelas jika di rasionalisasikan ada begitu banyak syarat yang harus dipenuhi untuk menjalankan sunnah rosul yang satu ini. Allah telah jelas menyebutkan Adil sebagai salah satu syarat terpentingnya (QS. An Nisa 3). Tapi tentusaja kita semua pasti sudah sepakat bahwa adil tidak akan selalu berarti sama rata kan.

Meskipun ini jelas merupakan syariat yang jelas tertulis dalam Al Quran, tapi tetap saja banyak pihak yang masih menganggap bahwa poligami merupakan suatu momok yang sangat menakutkan dalam kehidupan rumah tangga. Bahkan seorang da’i kondang harus rela ditinggalkan “penggemarnya”, yang kebanyakan ibu-ibu, karena persoalan poligami ini. Tak heran jika masyarakat kita saat ini menganggap poligami suatu momok yang menakutkan, karena memang yang lebih banyak dibahas di ruang publik adalah sisi-sisi hitam nya saja. Pernahkan mendengar ada dua orang wanita yang kemudian menjadi sahabat justru karena diikat oleh sebuah syariat bernama poligami itu. Pernahkah mendengar ada dua suku yang didamaikan karena adanya poligami.

Sedikit ternganga ketika ada seorang istri sekaligus ibu bercerita tentang kegigihannya mendorong suaminya untuk melakukan poligami. Bukan, bukan karena sang istri sudah tak cinta dengan suaminya. Justru karena kecintaannya itulah, melihat pekerjaan suaminya yang PJKA alias Pergi Jumat Kembali Ahad, beliau sadar betul dengan kondisi suaminya. Mungkin poligami bisa menjadi solusinya. Namun yang membuat mulut saya ternganga makin lebar adalah jawaban sang suami.

“Dapetin Ummi aja susah”

Gubrakk,. Jawaban yang tidak disangka sangka dan jelas saja membuat sang istri senyum senyum malu. Beruntungnya saya mendapat kesempatan lebih jauh membicarakan hal ini dengan sang istri yang unik tadi. Beliau seperti mendobrak semua pendapat melow yang pernah ada tentang pologami. Salah satu pendapat yang paling saya ingat adalah, justru sang suami akan bertambah cintanya kepada istri pertama. How come ?? #matabelok. Dalam poligami, yang namanya persaingan pastilah akan muncul. Antara istri pertama dengan istri selanjutnya. Sebelumnya istri pertama tidak memiliki “pembanding” dalam melayani sang suami, sehingga mungkin yang diberikan hanya seadanya saja. Ketika hadir istri kedua, mau tidak mau istri pertama akan berusaha sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik kapada suami, secara ada saingannya gitu kan. Masih menurut sang istri unik tadi (gimana kalo kita sebut saja mbak istri, kekeke) sang suami kemudian akan merasa begitu bersyukur dengan istri pertamanya. Sebagai istri pertama, dia lah yang lebih faham bagaimana tabiat sang suami secara ia sudah lebih lama hidup dengan sang suami.  Dengan begitu, tentu saja cinta dan sayangnya akan bertambah besar kepada istri pertamanya. Intinya kalo mau dipoligami, jadilah istri pertama. #plak *dipelototin ibu ibu sekampung.

Lalu bagaimana dengan nasib istri kedua ? Istri kedualah yang akan menjadi penutup dari kekurangan-kekurangan yang ada pada istri pertama, intinya saling melengkapilah. Apalagi kan hati laki-laki itu luas, jika ada wanita lain bukan berarti cintanya yang 100 persen kepada istri pertama menjadi berkurang, justru cintanya akan ada ada 100 persen lagi untuk istri kedua. *Duileh bahasanya cinta cintaan. #lemparduren.

Selain itu, istri istri itu bisa saling berbagi cerita, saling menasehati, berbagi tips atau apalah untuk rumah tangganya yang lebih baik. Saya bahkan pernah berkelakar dengan beberapa akhwat satu lembaga, jika memang harus dipoligami maka istri-istri yang lain maka harus akhwat-akhwat itu. Saking kami sudah “klik” satu sama lain dan membayangkan jika menjalani “organisasi” kerumahtanggaan bersama. Becandaan yang agak aneh memang, tapi jika kita flashback ke zaman Rosulullah dulu, istri-istri beliau ternyata berteman baik. Mereka sportif mendukung satu sama lain. Meski tentu saja perasaan cemburu dan semacamnya muncul ke permukaan, namun Rosulullah begitu pandai meredamnya.

Mbak istri tadi menambahkan, untuk pernikahan yang usianya sudah diatas sepuluh tahun sebenarnya yang dibutuhkan lebih kepada materil. Masa masa saling kasmaran, saling memahami itu sudah lewat kali ya. Sang istri sudah fokus mengurus anak-anak yang menguras waktu dan tenaga. Entahlah, apa maksudnya poligami itu sebaiknya dilakukan untuk usia pernikahan sepuluh tahun keatas atau bagaimana, saya tak berani menafsirkan. *brb telpon ibu di rumah.

Saya kemudian berfikir, mana sih yang lebih utama. Anak-anak atau pasangan? Kalo menurut saya dua-dua nya sama pentingnya. Jadi tidak ada alasan untuk mengenyampingkan salah satunya kan. Anak-anak memang perlu perhatian yang besar dalam hal menddidik dan membesarkannya, tapi bukankah pasangan yang akan membersamai kita sampai tua kelak disaat anak-anak sudah menemukan hidupnya sendiri. InshaAllah. *ngelap ingus

Islam itu indah bukan. Syari’at ini Allah turunkan dengan begitu indahnya. Entahlah mengapa masih banyak orang secara tidak langsung lebih memilih selingkuh yang jelas-jelas maksiat ketimbang syari’at Allah yang begitu indah ini. Dan saya menulis ini semata karena ingin berbagi tentang sisi lain dari poligami yang saya dengar langsung dari orang yang lebih berpengalaman. Awalnya sedikit takut untuk mempublishnya, takut orang-orang beranggapan saya begitu siap dipoligami. Tapi ternyata semangat berbagi mengalahkan ketakutan itu. Soal siap atau tidaknya, saya gak suka makan jengkol juga kok. *gaya mbak Anna Althafunnisa :) 
Enjoy !!!

sumber gambar : sini 

8 komentar

Pertanyaannya masih sama buat para (calon) ibu: mau dimadu apa diracun?

REPLY

perbedaan antara racung dengan obat sesungguhnya hanya terletak pada dosisnya sop.
^^,

REPLY

iyeeh desi udh dewasa sekali... :)
salut2, nice note.. gamsahamnida bwt notenya... :)

REPLY

pertanyaannya: kapan desi mw jd istri pertama (dan yang terakhir)? heheheh...

REPLY

makasih juga dedew,
bedeweh ak kangen jailin kamu deh
kekeke

REPLY

inshaAllah,
tunggu aja tanggal maennya,.
#halah

sepertiny Anda akan duluan wahai Ibu sarjana sains.:)

REPLY

Jadi? Desy mau yang mana? yup, jadi ingat perbincangan mba dengan diri sendiri (kirain sama sapa^^) pada suatu hari, tentang ini. Betapa indah ya poligami...;p

REPLY

#pura2 gak baca prtanyaannya mb uzi
^^

haha
mb zi suka ngobrol sama diri sndiri yak
sip sip
sudah ada bayangan nih si mbak sholihah
:D

REPLY

Purnama Menatap Dunia . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates