|
Homeless (c) Hans Knikman
|
Tangan kecil itu
masih erat memeluk pinggangku. Mata-mata di sekitar kami masih menatap bocah
kecil di depanku ini dengan tatapan buas penuh kebencian dan kemarahan.
“Udah bakar aja
bakar. Kecil-kecil udah belajar maling”
“Seret aja ke
tengah banjir. Biar tenggelem sekalian. Mau jadi apa gedenya, masih kecil udah
pinter nyopet”
Orang-orang
mulai tak sabar dengan anak kecil di hadapanku. Tak kupedulikan lagi bau yang
menyengat dari bocah ini. Apalagi air kencing yang sekarang mulai membasahi rok
abu-abu dan kets putihku.
“Demi Tuhan anak
ini ketakutan. Sudah tidak adakah kemanusiaan disini. Apakah semuanya sudah
hanyut bersama banjir ??” Lantangku dengan tatapan mata yang kubuat setegas
mungkin. Ya Allah, hanya Engkau yang tau betapa gentarnya hati ini melihat
tatapan buas mereka.
“Udah Neng, gak
usah sok pahlawan. Copet kayak die tuh pantesnya diabisin aja, biar yang
laen-laen pada kapok”
“Ini negara
hukum Bapak, mana bisa main hakim sendiri begitu. Paling tidak ayo kita bawa
anak ini ke kantor polisi setelah dia tenang. Dia kedinginan dan ketakutan” Mulai kurasakan gemeletuk gigi gadis kecil ini. Rambutnya lengket dan basah
entah kapan terakhir tersentuh sabun. Pakainnya yang basah kurasakan sudah
merembes ke pakaianku.
“Dompetnya warna
apa Bu? Geledah aja bocahnya” seorang bapak berpakaian seragam. Kulirik sekilas
ID card yang tergantung di lehernya. Tertulis disana nama sebuah BUMN ternama
negri ini.
“Warna coklat Pak”
jawab seorang ibu dengan setelan blazer hitam ber make-up lengkap.
“Coba Neng
ditanya ke bocah itu”
“Adik baik. Kalo
kamu gak salah, gak usah takut. Ada kakak disini. Tapi kita harus buktikan ke
orang-orang itu kalo kamu benar-benar gak salah. Jadi kakak harus liat isi
kantong mu. Boleh?” kubisikkan kata-kata itu. satu detik dua detik. Gadis kecil
itu tidak bergeming sama sekali.
Kuberanikan diri
untuk mengusap kepalanya yang basah. Mencoba menyalurkan perasaan yang
sebenarnya berkecamuk di dadaku. Ia pun pelan pelan menarik tangannya dan
mendongak menatapku. Wajah tirus dengan bibir biru karena rasa dingin dan takut
yang bercampur aduk. Kuambil posisi jongkok untuk mensejajarkan tatapan kami.
“Adik baik,
Kakak lihat isi kantong celanannya ya?” dengan gemetar gadis kecil itu merogoh
kantong celananya dan mengeluarkan dua lembar uang dan beberapa koin. Terlihat
Jendral Patimura menatap iba dari dalam uang lusuh yang dipegang gadis kecil
itu.
“Coba geledah
neng badannya. Siapa tau disembunyiin di tempat lain” Kali ini seorang pemuda
menggendong tas ransel. Tipikal mahasiswa.
Kucoba
menggeledah bagian lainnya, tetap nihil. Tak kutemukan apa-apa.
“Bapak-bapak
Ibu-ibu lihat sendiri kan, dompet nya tidak ada. Tuduhan Bapak-bapak Ibu-ibu
tidak terbukti” tangan kananku tetap memegang pundak gadis kecil tadi, mencoba
memberikan kekuatan padanya yang masih menggigil.
“Bener Bu anak
ini yang ambil dompetnya?” bapak-bapak berseragam BUMN tadi mulai menatap ragu
pada ibu yang kehilangan dompetnya.
“iya Pak, tadi
anak ini yang menabrak saya”
“Mungkin
dompetnya jatuh di jalan”
“Atau
ketinggalan di rumah” satu persatu mulai meninggalkan kerumunan. Tak ada
satupun yang meminta maaf. Ah, bahkan sekadar kata-kata menghibur. Tidak ada.
Pergi begitu saja.
***
Sekitar setengah
jam yang lalu, aku memutuskan turun dari bis yang kutumpangi. Banjir sudah
meluas kemana-mana. Macet total. Kami sudah berhenti di tempat yang sama hampir
dua jam lamanya.
Selamat datang di Ibukota, Dira.
Fikirku.
Hujan masih
belum reda sejak pagi tadi kubuka gerbang kos bercat merah bata itu. Baru saja
kutemukan sebuah emperan toko dan berniat mengeluarkan handphone untuk menghubungi
pihak kantor, hingga tiba-tiba ada seorang anak kecil memeluk pinggangku.
“Hei” Kaget.
Sontak kutengok kanan kiri sambil berusaha melepaskan tangan bocah itu. Dari
arah kiriku segerombolan manusia bermata buas berlari menuju kami sambil
berteriak
“Copet. Copet.
Tangkep bocah Copetnya”
Mana copet nya?
Mana? Celingak celinguk aku melihat ke kanan dan kiri. Kerumunan orang-orang
itu kini sudah tiba di hadapanku. Menuding-nuding ke arah anak kecil yang
tiba-tiba memeluk pinggangku tadi. Seorang ibu dengan setelah blazer hitam dan
make-up tebal ikut tergopoh-gopoh berlari ke arah kami. Tatapan matanya tidak
kalah garang dengan orang-orang yang lebih dulu sampai. Seorang bapak-bapak
ragu mendekatiku mencoba menarik bocah kecil dihadapanku. Namun sayang, tangan
mungil itu kencang memeluk pinggangku.
“Stop !!! “
Terdengar bariton keluar dari pita suaraku.
“Bisa tolong
singkirkan tangan Bapak dari anak ini??” Tegas kutatap langsung ke mata orang
tua yang mungkin seumuran dengan Bapakku di kampung.
“Gimana sih? Ini
gimana mau ngegeledahnya kalo dia nempel di eneng itu terus” ibu-ibu berblazer
hitam sepertinya sudah sangat tidak sabar mendapatkan kembali dompetnya yang
hilang.
“Yaudah neng,
coba dibujuk bocahnya. Kalo nggak, saya gak segan-segan buat seret kalian
berdua”
Akupun mulai
berhitung dengan situasi. Orang-orang makin tidak sabar.
***
Kami berdua
memasuki sebuah warteg yang sepi. Memesankan dua gelas teh panas dan sepiring
nasi kepada ibu penjaga warteg yang menatap dengan tatapan kurang bersahabat.
Biarlah. Gadis kecil itu kuminta membersihkan dirinya di kamar kecil warteg
itu. Yang lagi-lagi ditatap dengan tatapan tidak bersahabat. Tiba-tiba gadis
kecil itu menarik-narik ujung kemejaku.
“Kak, dibungkus
aja. 2 bungkus boleh?” permintaannya hanya kubalas dengan anggukan dan segera
mengoreksi pesananku kepada ibu penjaga warteg.
“Gantian kakak
yang ke toilet ya. Kamu tunggu disini. Nanti kakak anter kamu pulang. Oke” pintaku
sekembalinya bocah kecil itu dari kamar kecil. Ia pun hanya menatapku tanpa
ekspresi.
“Kakak baik bermata bulat. Terimakasih
banyak ya. Aku harus segera pulang membawakan obat batuk buat ibuk. Tadi pagi
banjir sudah masuk ke rumah kardus kami. Terimakasih kakak baik bermata bulat”
Sekembalinya
dari kamar mandi, kutemukan surat pendek ditulis seadanya diatas selembar struk
belanjaan senilai setengah jutaan. Jelas bukan milikku. Ku periksa isi tas
ranselku, lengkap tidak kurang satu apapun. Segera ku berlari keluar. Kulihat
dari kejauhan gadis kecil itu berjalan tergesa-gesa bersama anak lelaki yang
sedikit lebih tinggi darinya.
“Dompetnya sudah
ketemu Neng. Ternyata jatoh di parit deket halte. Lengkap, yang ilang cuma
struk belanjaan katanya. Kasian ya bocahnya tadi.”
Kubalas mamang
tukang ojek itu dengan anggukan lemah sambil berlalu meninggalkan halte yang
mulai sepi itu. Ah, aku rindu Jogja.