Senin, 25 Februari 2013

Homeless (c) Hans Knikman

Tangan kecil itu masih erat memeluk pinggangku. Mata-mata di sekitar kami masih menatap bocah kecil di depanku ini dengan tatapan buas penuh kebencian dan kemarahan.

“Udah bakar aja bakar. Kecil-kecil udah belajar maling”

“Seret aja ke tengah banjir. Biar tenggelem sekalian. Mau jadi apa gedenya, masih kecil udah pinter nyopet”

Orang-orang mulai tak sabar dengan anak kecil di hadapanku. Tak kupedulikan lagi bau yang menyengat dari bocah ini. Apalagi air kencing yang sekarang mulai membasahi rok abu-abu dan kets putihku.

“Demi Tuhan anak ini ketakutan. Sudah tidak adakah kemanusiaan disini. Apakah semuanya sudah hanyut bersama banjir ??” Lantangku dengan tatapan mata yang kubuat setegas mungkin. Ya Allah, hanya Engkau yang tau betapa gentarnya hati ini melihat tatapan buas mereka.

“Udah Neng, gak usah sok pahlawan. Copet kayak die tuh pantesnya diabisin aja, biar yang laen-laen pada kapok”

“Ini negara hukum Bapak, mana bisa main hakim sendiri begitu. Paling tidak ayo kita bawa anak ini ke kantor polisi setelah dia tenang. Dia kedinginan dan ketakutan” Mulai kurasakan gemeletuk gigi gadis kecil ini. Rambutnya lengket dan basah entah kapan terakhir tersentuh sabun. Pakainnya yang basah kurasakan sudah merembes ke pakaianku.

“Dompetnya warna apa Bu? Geledah aja bocahnya” seorang bapak berpakaian seragam. Kulirik sekilas ID card yang tergantung di lehernya. Tertulis disana nama sebuah BUMN ternama negri ini.

“Warna coklat Pak” jawab seorang ibu dengan setelan blazer hitam ber make-up lengkap.

“Coba Neng ditanya ke bocah itu”

“Adik baik. Kalo kamu gak salah, gak usah takut. Ada kakak disini. Tapi kita harus buktikan ke orang-orang itu kalo kamu benar-benar gak salah. Jadi kakak harus liat isi kantong mu. Boleh?” kubisikkan kata-kata itu. satu detik dua detik. Gadis kecil itu tidak bergeming sama sekali.

Kuberanikan diri untuk mengusap kepalanya yang basah. Mencoba menyalurkan perasaan yang sebenarnya berkecamuk di dadaku. Ia pun pelan pelan menarik tangannya dan mendongak menatapku. Wajah tirus dengan bibir biru karena rasa dingin dan takut yang bercampur aduk. Kuambil posisi jongkok untuk mensejajarkan tatapan kami.

“Adik baik, Kakak lihat isi kantong celanannya ya?” dengan gemetar gadis kecil itu merogoh kantong celananya dan mengeluarkan dua lembar uang dan beberapa koin. Terlihat Jendral Patimura menatap iba dari dalam uang lusuh yang dipegang gadis kecil itu.

“Coba geledah neng badannya. Siapa tau disembunyiin di tempat lain” Kali ini seorang pemuda menggendong tas ransel. Tipikal mahasiswa.

Kucoba menggeledah bagian lainnya, tetap nihil. Tak kutemukan apa-apa.

“Bapak-bapak Ibu-ibu lihat sendiri kan, dompet nya tidak ada. Tuduhan Bapak-bapak Ibu-ibu tidak terbukti” tangan kananku tetap memegang pundak gadis kecil tadi, mencoba memberikan kekuatan padanya yang masih menggigil.

“Bener Bu anak ini yang ambil dompetnya?” bapak-bapak berseragam BUMN tadi mulai menatap ragu pada ibu yang kehilangan dompetnya.

“iya Pak, tadi anak ini yang menabrak saya”

“Mungkin dompetnya jatuh di jalan”

“Atau ketinggalan di rumah” satu persatu mulai meninggalkan kerumunan. Tak ada satupun yang meminta maaf. Ah, bahkan sekadar kata-kata menghibur. Tidak ada. Pergi begitu saja.

***

Sekitar setengah jam yang lalu, aku memutuskan turun dari bis yang kutumpangi. Banjir sudah meluas kemana-mana. Macet total. Kami sudah berhenti di tempat yang sama hampir dua jam lamanya.

Selamat datang di Ibukota, Dira. Fikirku.

Hujan masih belum reda sejak pagi tadi kubuka gerbang kos bercat merah bata itu. Baru saja kutemukan sebuah emperan toko dan berniat mengeluarkan handphone untuk menghubungi pihak kantor, hingga tiba-tiba ada seorang anak kecil memeluk pinggangku.

“Hei” Kaget. Sontak kutengok kanan kiri sambil berusaha melepaskan tangan bocah itu. Dari arah kiriku segerombolan manusia bermata buas berlari menuju kami sambil berteriak

“Copet. Copet. Tangkep bocah Copetnya”

Mana copet nya? Mana? Celingak celinguk aku melihat ke kanan dan kiri. Kerumunan orang-orang itu kini sudah tiba di hadapanku. Menuding-nuding ke arah anak kecil yang tiba-tiba memeluk pinggangku tadi. Seorang ibu dengan setelah blazer hitam dan make-up tebal ikut tergopoh-gopoh berlari ke arah kami. Tatapan matanya tidak kalah garang dengan orang-orang yang lebih dulu sampai. Seorang bapak-bapak ragu mendekatiku mencoba menarik bocah kecil dihadapanku. Namun sayang, tangan mungil itu kencang memeluk pinggangku.

“Stop !!! “ Terdengar bariton keluar dari pita suaraku.

“Bisa tolong singkirkan tangan Bapak dari anak ini??” Tegas kutatap langsung ke mata orang tua yang mungkin seumuran dengan Bapakku di kampung.

“Gimana sih? Ini gimana mau ngegeledahnya kalo dia nempel di eneng itu terus” ibu-ibu berblazer hitam sepertinya sudah sangat tidak sabar mendapatkan kembali dompetnya yang hilang.

“Yaudah neng, coba dibujuk bocahnya. Kalo nggak, saya gak segan-segan buat seret kalian berdua”
Akupun mulai berhitung dengan situasi. Orang-orang makin tidak sabar.

***

Kami berdua memasuki sebuah warteg yang sepi. Memesankan dua gelas teh panas dan sepiring nasi kepada ibu penjaga warteg yang menatap dengan tatapan kurang bersahabat. Biarlah. Gadis kecil itu kuminta membersihkan dirinya di kamar kecil warteg itu. Yang lagi-lagi ditatap dengan tatapan tidak bersahabat. Tiba-tiba gadis kecil itu menarik-narik ujung kemejaku.

“Kak, dibungkus aja. 2 bungkus boleh?” permintaannya hanya kubalas dengan anggukan dan segera mengoreksi pesananku kepada ibu penjaga warteg.

“Gantian kakak yang ke toilet ya. Kamu tunggu disini. Nanti kakak anter kamu pulang. Oke” pintaku sekembalinya bocah kecil itu dari kamar kecil. Ia pun hanya menatapku tanpa ekspresi.

“Kakak baik bermata bulat. Terimakasih banyak ya. Aku harus segera pulang membawakan obat batuk buat ibuk. Tadi pagi banjir sudah masuk ke rumah kardus kami. Terimakasih kakak baik bermata bulat”

Sekembalinya dari kamar mandi, kutemukan surat pendek ditulis seadanya diatas selembar struk belanjaan senilai setengah jutaan. Jelas bukan milikku. Ku periksa isi tas ranselku, lengkap tidak kurang satu apapun. Segera ku berlari keluar. Kulihat dari kejauhan gadis kecil itu berjalan tergesa-gesa bersama anak lelaki yang sedikit lebih tinggi darinya.

“Dompetnya sudah ketemu Neng. Ternyata jatoh di parit deket halte. Lengkap, yang ilang cuma struk belanjaan katanya. Kasian ya bocahnya tadi.”

Kubalas mamang tukang ojek itu dengan anggukan lemah sambil berlalu meninggalkan halte yang mulai sepi itu. Ah, aku rindu Jogja.

Purnama Menatap Dunia . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates