Satu hari aku dan salah seorang teman pernah [secara ngasal] mengklasifikasikan jilbab-jilbab yang digunakan oleh para muslimah yang kami temui. Ada jilbab sapu tangan, jilbab taplak meja, jilbab gorden, hingga jilbab seprai. Klasifikasinya menurut apa? Ya tentu saja menurut ukurannya. Jilbab sapu tangan adalah sedikit kain yang dipaksa digunakan untuk menutupi kepala telinga leher dan (semcam mustahil) diulurkan hingga ke dada. Kalo jilbab taplak meja cukup besar untuk digunakan untuk memenuhi persyaratan jilbab syar’i menurut QS. An Nur 31. Nah, sedangkan jilbab gorden dan jilbab seprai adalah jenis kain berukuran 150cm lebih yang digunakan untuk menutup aurat dengan sangat tertutup sehingga si pemakai jilbab jenis ini pasti akan merasa aman tak perlu khawatir kain yang ia gunakan kurang sesenti pun.  Tentu saja survey asal-asalan ini hanya ditujukan untuk senang senang belaka, namun setelah direnungkan lebih dalam, ternyata muslimah di Indonesia ini sungguh beragam ukuran jilbabnya.

Keberagaman ukuran jilbab ini untuk beberapa orang mungkin menjadi ukuran “keshalihahan” seorang muslimah juga. Tidak salah memang, jelas membutuhkan keyakinan yang lebih besar untuk mengulurkan jilbab hingga jauh melebihi dada (sesuai dengan syariat) ya selain memang membutuhkan kantong yang lebih tebal juga. Jilbab sapu tangan jelas lebih murah kan daripada jilbab gorden ataupun jilbab seprai. Tapi tidak adil rasanya ketika ukuran jilbab itu kemudian menjadi ukuran ketidak shalihahan seseorang. Pernah suatu cerita sampai ke telingaku ada seorang muslimah yang dikomentari oleh teman lawan jenisnya.

“lagi futur Mbak ? jilbab nya kecil bener”