Seberapa Pantas?
Waduk Gadjah Mungkur, view from bridge near it |
Teringat sebuah percakapan dengan
seorang sahabat si oknum MN beberapa hari yang lalu,
Kalo berbicara
soal takdir kita berbicara soal kepantasan. Lulus kuliah, dapet beasiswa,
ketemu jodoh, semua itu tinggal kita sudah pantas atau belum bertemu dengan takdir
tersebut.
Awalnya saya berfikir, takdir itu
domain utamanya adalah aqidah. Jelas ya disebutin di rukun iman, percaya pada
qada dan qodar. Tapi ternyata setelah itu ada yang namanya kepantasan yang
dikatakan oknum MN. Kamu akan sampai pada takdir menjadi sarjana adalah saat
kamu sudah pantas menjadi sarjana. Dan bagiannya Allah ada setelah ini, menurunkan
takdir itu saat kita sudah pantas bertemu dengannya.
Seperti kejadian hari ini.
setelah sekian lama digantung tanpa kejelasan, akhirnya kami memutuskan untuk
“sidak” ke wonogiri. Udah nekat. Terserah mau gimana disana. Bahkan jalan
menuju lokasinya aja masih raba-raba. Entah mau lewat mana. Hanya berbekal
google maps dan gps. Chulball. Bismillah
kami bertiga berangkat ke wonogiri. Melewati jalanan yang sudah mirip sungai
kering, berkali-kali kami berdua beristighfar saat roda motor melewati lubang
mengaga besar di tengah jalan. Entahlah, mungkin pak presiden atau pak gubernur
setempat tidak pernah lewat jalanan situ. Hingga akhirnya 2 jam lebih sedikit
sampailah kami di kota Wonogiri, kota yang akhirnya akan meninggalkan kenangan
tentang nila bakar, ikan wader dan dimarahi mbak-mbak supervisor.
Dan kalian tau apa yang kami
temukan sesampainya kami di plant deltomed laboratories?? Langsung bertemu
dengan bapak kepala humas yang selama ini mengurusi jadwal PKPA kami.
Qadarallah bertemu di masjid saat kami akan shalat zuhur di siang yang terik
itu. Bergumam sebentar melihat beberapa orang bapak dengan seragam deltomed. Disapa.
Beliau bertanya nama, kami menjawab dan jreeenngggg. Beliaulah orang yang kami
telpon berulang-ulang kali untuk memastikan jadwal.
“jam satu bertemu saya ya di
kantor”
Seuntai kalimat yang akhirnya
sedikit menentramkan hati kami yang gundah gulana selama beberapa pekan
terakhir. Pertemuan jam satu itu akhirnya menjelaskan duduk perkara yang
sebenarnya mengapa kami belum juga diberi kepastian jadwal PKPA. Baiklah. Akhirnya
beliau memberikan selembar kertas berisi jadwal kami selama 5 pekan kedepan. Noted.
Basa-basi. Tanya ini itu. Pamitan. Pulang. Kehujanan, mampir rumah teman, makan
rambutan dan tahu isi, kemudian kembali pulang ke jogja.
Cukup satu hari, tak lebih, hanya
satu hari. Berhari-hari hanya gundah gulana menunggu jadwal. Ikhtiar terbatas
pada telpon dan telpon diselingi berkirim pesan via wasap dan sms. Ternyata Allah
ingin melihat kesungguhan kami yang lebih nyata. Ikhtiar maksimal. Taqdir kami
ber-PKPA disana adalah saat kami pantas. Pantasnya kapan, yaa saat kami ikhtiar
maksimal menjemput taqdir tersebut.
Rumit? Memang. Untuk itulah saya
kadang perlu beberapa saat untuk memahami ketika menemukan sebuah kejadian. Pantaskah? Jika
begitu rumusnya, mau tak mau harus merumuskan parameter kepantasan untuk
mimpi-mimpi yang telah saya bangun. Bagaimana parameter kepantasan untuk
seorang farmasis? Atau bagaimana parameter kepantasan untuk seorang ibu negara?
Dan sederet parameter kepantasan-kepantasan yang lainnya. Hingga akhirnya
(harusnya) mana sempatlah untuk galau, sunyi sendu dan sendiri karena terlalu
sibuk menyusun milestones menuju
takdirnya sendiri. Dan saat Allah melihat kita sudah pantas bertemu dengan
takdir itu maka kun fayakun. Enjoy :D