Kamis, 17 Juli 2014

Waduk Gadjah Mungkur, view from bridge near it

Teringat sebuah percakapan dengan seorang sahabat si oknum MN beberapa hari yang lalu,

Kalo berbicara soal takdir kita berbicara soal kepantasan. Lulus kuliah, dapet beasiswa, ketemu jodoh, semua itu tinggal kita sudah pantas atau belum bertemu dengan takdir tersebut.

Awalnya saya berfikir, takdir itu domain utamanya adalah aqidah. Jelas ya disebutin di rukun iman, percaya pada qada dan qodar. Tapi ternyata setelah itu ada yang namanya kepantasan yang dikatakan oknum MN. Kamu akan sampai pada takdir menjadi sarjana adalah saat kamu sudah pantas menjadi sarjana. Dan bagiannya Allah ada setelah ini, menurunkan takdir itu saat kita sudah pantas bertemu dengannya.

Seperti kejadian hari ini. setelah sekian lama digantung tanpa kejelasan, akhirnya kami memutuskan untuk “sidak” ke wonogiri. Udah nekat. Terserah mau gimana disana. Bahkan jalan menuju lokasinya aja masih raba-raba. Entah mau lewat mana. Hanya berbekal google maps dan gps. Chulball.  Bismillah kami bertiga berangkat ke wonogiri. Melewati jalanan yang sudah mirip sungai kering, berkali-kali kami berdua beristighfar saat roda motor melewati lubang mengaga besar di tengah jalan. Entahlah, mungkin pak presiden atau pak gubernur setempat tidak pernah lewat jalanan situ. Hingga akhirnya 2 jam lebih sedikit sampailah kami di kota Wonogiri, kota yang akhirnya akan meninggalkan kenangan tentang nila bakar, ikan wader dan dimarahi mbak-mbak supervisor.

Dan kalian tau apa yang kami temukan sesampainya kami di plant deltomed laboratories?? Langsung bertemu dengan bapak kepala humas yang selama ini mengurusi jadwal PKPA kami. Qadarallah bertemu di masjid saat kami akan shalat zuhur di siang yang terik itu. Bergumam sebentar melihat beberapa orang bapak dengan seragam deltomed. Disapa. Beliau bertanya nama, kami menjawab dan jreeenngggg. Beliaulah orang yang kami telpon berulang-ulang kali untuk memastikan jadwal.

“jam satu bertemu saya ya di kantor”

Seuntai kalimat yang akhirnya sedikit menentramkan hati kami yang gundah gulana selama beberapa pekan terakhir. Pertemuan jam satu itu akhirnya menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya mengapa kami belum juga diberi kepastian jadwal PKPA. Baiklah. Akhirnya beliau memberikan selembar kertas berisi jadwal kami selama 5 pekan kedepan. Noted. Basa-basi. Tanya ini itu. Pamitan. Pulang. Kehujanan, mampir rumah teman, makan rambutan dan tahu isi, kemudian kembali pulang ke jogja.

Cukup satu hari, tak lebih, hanya satu hari. Berhari-hari hanya gundah gulana menunggu jadwal. Ikhtiar terbatas pada telpon dan telpon diselingi berkirim pesan via wasap dan sms. Ternyata Allah ingin melihat kesungguhan kami yang lebih nyata. Ikhtiar maksimal. Taqdir kami ber-PKPA disana adalah saat kami pantas. Pantasnya kapan, yaa saat kami ikhtiar maksimal menjemput taqdir tersebut.

Rumit? Memang. Untuk itulah saya kadang perlu beberapa saat untuk memahami ketika menemukan sebuah kejadian. Pantaskah? Jika begitu rumusnya, mau tak mau harus merumuskan parameter kepantasan untuk mimpi-mimpi yang telah saya bangun. Bagaimana parameter kepantasan untuk seorang farmasis? Atau bagaimana parameter kepantasan untuk seorang ibu negara? Dan sederet parameter kepantasan-kepantasan yang lainnya. Hingga akhirnya (harusnya) mana sempatlah untuk galau, sunyi sendu dan sendiri karena terlalu sibuk menyusun milestones menuju takdirnya sendiri. Dan saat Allah melihat kita sudah pantas bertemu dengan takdir itu maka kun fayakun. Enjoy :D

Purnama Menatap Dunia . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates