Minggu, 21 Agustus 2011

::: mereka masih bocah, oke :) ::

Pagi itu, Jum’at 9 Ramadhan 1364 H atau bertepatan dengan 17 Agustus 1945, sang tokoh fenomenal, seorang manusia unik yang sarat idealisme dan nantinya memiliki nama hebat dalam sejarah tanah airnya, Ir. Soekarno bersama hatta, syahrir dan rekan-rekan seperjuangannya memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sebuah peristiwa yang kemudian menjadi titik balik perjuangan bangsa Indonesia, setelah beratus-ratus tahun dijajah bergilir. Sayangnya ia meninggal ketika Negara yang ia bela mati-matian baru merasakan 25 tahun kemerdekaannya. Entah bagaimana perayaan kemerdekaan pada masa beliau masih hidup, tapi saya menebak perayaan kemerdekaan saat itu tidak akan jauh-jauh dari orasi Sang Proklamator yang berapi-api dengan pangkat dan jubah kebesarannya itu. Kapan-kapan saya akan bertanya kepada para veteran untuk diceritakan sedikit tentang perayaan kemerdekaan di masa itu.

Hari ini, dimana logika dari sebuah perayaan kemerdekaan, iklan yang menampilkan seorang anak Indonesia membawa berlari bendera merah putih dengan lagu-lagu perjuangan, umbul-umbul merah putih ramai di sepanjang jalan. Atau ketika zaman masih duduk di bangku sekolah dulu, selalu diajarkan untuk hadir dalam upacara bendera memperingati hari kemerdekaan. Sebuah upacara “wajib” yang harus dihadiri oleh anak sekolah , jika tidak maka nilai PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewanganegaraan) nya akan dikurangi karena dinilai kurang nasionalis. Mau tidak mau harus hadir, melaksanakan suatu “formalitas” upacara, menyanyikan Indonesia raya sambil melihat pengibaran bendera merah putih, hening cipta, selesai dan pulang. Mungkin lebih kurang 30 menit kita rayakan kemerdekaan.

Bingung juga kemudian apa yang ingin diperingati, terlebih lagi dengan acara lomba balap kerupuk, lomba makan karung ataupun lomba-lomba semacamnya. Senang sekali melihat wajah-wajah ceria anak-anak (kadang juga orang tua) yang mengikuti ceremonial semacam itu. Namun, tidak ada kelanjutan dari peringatan-peringatan tersebut. Upacara, 30 menit selesai lantas pulang. Mungkin hanya sedikit bersisa pembicaraan tentang pengerek bendera yang cukup charming tadi atau anak-anak yang tergeletak di UKS karena pingsan kepanasan. Atau perlombaan-perlombaan tadi, terkadang malah berlanjut dengan perseteruan antar RT entah karena masalah kecil apa.

Namun ada yang berbeda di peringatan hari kemerdekaan 8 tahun terakhir ini. Yang biasanya peringatan hanya seputar upacara bendera, nyanyi lagu perjuangan dan semacamnya, sejak tahun 2003 muncul tren baru peringatan kemerdekaan. Tren tersebut adalah pidato kenegaraan yang disampaikan oleh Presiden. Oke, kemudian pidato tersebut juga dilakukan oleh para pemimpin yang ada di bawahnya, gubernur, bupati, camat dan sebagainya. Isinya ? Sepertinya ya itu-itu saja yang disampaikan. Seperti Semoga moment kemerdekaan kita jadikan landasan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan bangsa” yang tentu saja dibaca dengan sedikit berwibawa dan meyakinkan.

Hampir tiap tahun kalimat seperti itu muncul dari pemimpin Negara kita. Ketika kalimat-kalimat tersebut pertama kali dikumandangkan dengan penuh wibawa dan meyakinkan dari sang pemimpin Negara, kemudian muncullah optimis dari rakyatnya untuk tahun depan yang lebih baik. Sudah 8 tahun terhitung sejak kalimat itu diucapkan, tapi mengapa penghasilan tukang becak begitu-begitu saja, uang sekolah makin mahal bahkan harga garam pun naik. Apa daya, tahun depan kita akan mendengar lagi kalimat seperti itu, dinikmati saja.

Dinikmati saja pidato-pidato tentang kemerdekaan yang disampaikan di tengah hiruk pikuknya Negara ini. Ditengah repotnya menjemput koruptor, pemimpin saling menyalahkan. Ditengah banyaknya anak yang putus sekolah, ditengah naiknya harga pupuk dan rendahnya harga gabah. Ditengah kekeringan di satu kota dan bajir di kota yang lain. Nikmati saja sensaninya.

Kadang logika berfikir tidak bisa dinegasikan, kemerdekaan tidak bisa disimbolkan dengan bendera dan nyayian, simpan saja bendera itu. Hatta pernah berkata “Tujuan perjuangan bukan semata untuk merdeka, tetapi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat” Seruan itu sebenarnya sudah cukup bagi kita bahwa tidak perlu perayaan yang berlebihan dalam memperingati kemerdekaan.

Semoga negeri ini tidak munafik, berdamai, berjabat dan meneriakkan “Merdeka”  dimana-mana setiap  tanggal 17 Agustus. Karena kemerdekaan ada dalam perjuangan diri kita, di tiap peluh dan langkah kita dalam berjuang mencapai standard kemerdekaan kita masing-masing. Semoga kita tidak terjebak dengan romantisme masa lalu yang tentu berbeda dengan zaman sekarang. Kita tidak butuh perayaan yang berlebihan, mengeluarkan biaya mahal untuk membuat iklan dan semacamnya, cukup dengan perbuatan konkret. Bahwa sebenarnya bisa bernafas, bisa makan tiga kali sehari, bisa bersekolah, anak balita mendapat asi dan dapat tempat tinggal layak adalah kemerdekaan yang harus kita syukuri. Setidaknya makin banyak rakyat Indonesia yang bisa merasakan hal tersebut. Kemerdekaan yang sebernarnya. Merdeka !!!

Wisma Alif Laam Miim
22 Agustus 2011 | 22 Ramadhan 1432 H
00.21 

Purnama Menatap Dunia . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates