Senin, 20 Februari 2012



::: rider nya keren ya? gambarnya diambil dari sini nih :::

Beberapa hari terakhir ini Jogja sedang sangat “basah”, setelah beberapa hari sebelumnya Jogja begitu panas. Seperti neraka membocorkan sedikit panasnya ke dunia. Siapa lagi yang membuat “basah” jika bukan hujan. Biasanya hujan terjadi di sore hari dan bertahan hingga malam hari dengan rintik-rintiknya. Dan beberapa hari ini pula aku basah kehujanan. Entah kenapa, meskipun sudah memakai raincoat tetap saja rintik-rintik air itu selalu berhasil membasahi pakaian. Entah itu hanya kaus kaki atau dari ujung jilbab sampai ujung kaus kaki.

Aku suka hujan, tentu saja. Hujan itu sebuah rahmat, tak mungkin lah membenci sebuah rahmat. Bahkan Rosulullah menuntunkan sebuah doa khusus ketika hujan

“Ya Allah, Turunkanlah hujan yang bermanfaat” (HR. Bukhari)

Hujan juga bisa dijadikan sebuah udzur untuk tidak berangkat shalat jum’at. Tentu saja dengan berbagai pertimbagan kondisi. Yang intinya adalah hujan merupakan kejadian yang begitu spesial. Tapi hujan sedikit berbeda dengan kehujanan bukan? Jika begitu banyak yang bersyukur dan begitu banyak orang menyukai hujan, aku termasuk orang yang sedikit risih ketika kehujanan. Aku suka hujan, tentu saja. Hujan itu sebuah rahmat, tak mungkinlah membenci sebuah rahmat. Ku suka cara hujan membuatku mencuci tiap hari. Karena jika tidak, maka persediaan pakaian terutama kaus kaki tidak akan cukup. Ku suka cara hujan membuatku berjalan lebih pelan. Karena jika tidak, maka air genangan hujan akan nyiprat kemana-mana termasuk pakaian sendiri. Dan tamparan air hujan di wajah cukup sakit jika dalam keadaan ngebut. Dan akhir-akhir ini menyukai cara hujan mengajarkan ku hal-hal baru.

Contohnya saja beberapa hari lalu, tepatnya sabtu pekan lalu. Seperti biasa ada pertemuan rutin kelompok ushroh ku. Ada yang tidak biasa hari itu, kami melakukan pertemuan di sebuah tempat yang jauh dari kampus. Di daerah kaliurang tepatnya. Aku suka gunung, selalu suka gunung. Menyenangkan rasanya berada di tempat yang lebih tinggi dari biasanya dengan udara juga yang lebih dingin dan lebih sejuk. Ketika hari menjelang zuhur, adzan zuhur pun belum dikumandangkan. Aku dan seorang sahabat “turun gunung” lebih cepat. Sengaja kami turun gunung duluan, karena ada acara yang harus kami hadiri siangnya. Acara yang boleh jadi menentukan nasib kami dua tiga hari berikutnya.

Saat motor mulai dihidupkan hujan baru saja turun, masih rintik. Begitu motor mulai dijalankan menuju jalan raya, tiba-tiba kami menyadari dua hal. Pertama, ban motor kami bocor. Kedua, hujan turun begitu deras. Satu satunya hal yang melintas di fikir ku hanyalah mencari tukang tambal ban terdekat dan menambal ban motor yang bocor tadi. Simple. Tapi beberapa menit kemudian semuanya menjadi tidak simpel lagi ketika kami bertanya kepada seorang pedangang di pinggir jalan dimana letak tambal ban terdekat.

“Agak jauh mbak, turun terus. Nanti di deket beringin tukang tambal bannya. Di deket tempat rekreasi”

Allah Ya Rahiim, dari penjelasan simple bapak itu sepertinya tempat tambal bannya cukup jauh. Kami belum shalat zuhur, dan hujan turun semakin deras. Seperti tumpah dari langit. Beruntung kami menggunakan raincoat masing-masing, jadi bisa fokus mendorong motor menuju tempat tambal ban terdekat. Pelajaran pertama: usahakan membawa dua buah raincoat ketika pergi berboncengan. Meskipun raincoat yang ada itu jenis batman atau jenis raincoat tidak egois  tetap saja teman yang membonceng akan kehujanan karena hanya terlindungi sebagian kecil saja. Apalagi untuk kejadian kami, bayangkan jika hanya ada satu raincoat, pasti kami tidak akan bisa nekat jalan ditengah hujan yang begitu deras. Itu berarti kami tidak bisa bergegas sampai di jogja dan tidak bisa menghadiri acara itu dengan tepat waktu.

Belum jauh kami berjalan ketika menemukan sebuah rumah makan di tepi jalan. Kami pun memutuskan untuk mampir sejenak untuk sekedar berteduh dan menunaikan shalat zuhur. Namun sayang, tak ada tempat yang bisa digunakan untuk shalat di rumah makan itu.

Perjalanan dilanjutkan setelah pergi ke toilet dan bertanya (lagi) dimana letak tukang tambal ban terdekat. Jawabannya pun tak jauh berbeda dengan bapak yang kami temui di pinggir jalan tadi, bedanya kali ini diiringi dengan tatapan kasihan. Jalanan yang kami lalui sempurna menurun dan berair. Tak banyak kendaraan yang lewat di jalanan kami saat itu. Wajar. Orang-orang akan lebih memilih meringkuk di tempat yang kering berbagi kehangatan ketimbang berjalan-jalan di tengah hujan mengguyur deras seperti sore itu.

Kami berjalan dalam diam (awalnya) kemudian sedikit demi sedikit mulai heboh karena hujan yang tidak kunjung berhenti, karena ada percabangan jalan yang kami tak yakin harus belok kemana. Dan kehebohan terbesar ketika kami menemukan pohon beringin di tengah-tengah pertigaan dengan tukang tambal ban di salah satu sebrangnya.

Alhamdulillahirabbilalamiin. Rasanya ingin sujud syukur saja (yang ini lebay deng J. Pelajaran kedua : menemukan tukang tambal ban ditengah hujan deras setelah menyusuri jalanan becek dan menurun itu bahagianya luar biasa, menambah kesyukuran. Cobalah sesekali.

Menyapa sang bapak tukang tambal ban, ternyata beliau sedang begitu sibuk dengan motor pelanggan yang lain. Sehingga percakapan kami tak banyak dengan beliau. Kami pun menyerahkan motor bocor itu kepada ahlinya. Tak lupa kami menanyakan masjid atau tempat shalat terdekat. Ternyata letak masjid sekitar 500 meter dari lokasi tambal ban. Kesana lah kami pergi shalat zuhur. Sebuah masjid yang cukup besar, dua lantai (sepertinya). Sepi, mungkin karena waktu shalat zuhur sudah lewat beberapa menit yang lalu jama'ah nya sudah pulang ke rumah masing-masing. Kesimpulan yang asal kuambil setelah melirik Casio hitamku. Shalat zuhur tanpa memakai mukena, sayang. Dijamin mukena akan ikut basah kuyup jika dipakai. Inilah salah satu keuntungan berhijab, bisa shalat dimanapun dalam kondisi apapun. 

Bermain asap. Itulah yang kami lakukan sekembalinya dari masjid. Seperti drama korea yang pernah ku tonton, di musim dingin artis-artis nya akan mengeluarkan asap putih ketika berbicara. Hoh hoh hoh, beberapa kali ber hoh hoh. Sengaja betul menambahkan huruf “h” di setiap kata.

“eh, khita khira-khira thelath nggagh yah dhathengh rhaphathnyah?”

(baca : eh, kira-kira kita telat gak ya dateng rapatnya?)

Begitu gembira melihat kepulan asap-asap putih keluar dari mulut ketika ber hoh hoh. Dan ternyata, asap putih tak hanya keluar dari mulut tapi juga dari tangan. Seperti seorang nenek sihir yang bisa mengeluarkan asap dari tangannya. Jadilah, menunggu ban motor kami ditambal, kami bermain asap yang keluar dari mulut dan tangan. Pelajaran ketiga : asap itu terbentuk karena tubuh menyesuaikan dengan suhu lingkungan. Lingkungan begitu dingin, sedangkan tubuh berusaha untuk (tetap) hangat. Sehingga keluarlah asap dari tubuh kita. (baca : bermain asap yang keluar dari tubuh sendiri ketika menunggu ban ditambal itu menyenangkan. Sungguh)

Setelah bosan bermain asap, atau lebih tepatnya persediaan asap sudah mulai menipis, ban motor selesai ditambal. Hujan pun tak deras lagi, hanya tersisa rintik-rintik nya saja. Itu membuat kami nekat melepas raincoat dan melanjutkan perjalanan tanpanya. Terbukti, di tengah perjalanan hujan kembali deras, jadilah kami harus berhenti untuk memakai kembali raincoat yang tadi sudah dilepas dan masuk ke bagasi motor. Pelajaran keempat : gunakan raincoat mu sampai tujuan. Jangan percaya hujan rintik-rintik yang dapat deras seketika tanpa kau sadari. Waspadalah, waspadalah.

Singkat cerita sampailah kami di acara yang seharusnya. Bahas ini itu, ngalor ngidul. Selesai. Waktu nya pulang ke rumah. Senang bahagia gembira girang happy huplaaa. Akhirnya bisa segera mengganti baju basah dengan yang kering. Karena sudah sekitar 4 jam bertahan dengan baju basah. Seketika semua kebahagiaan menguap ditelan mendung. Harapan bisa segera menggapai kehangatan di dalam rumah hilang seketika tau pintu kontrakan dikunci. Kucari di tempat biasa, nihil. Sms penghuni kontrakan, menanyakan keberadaan, masih sekitar setengah jam baru pulang. Baiklah. Duduk, ambil handphone, pasang headset. Can not do another thing but waiting. Pelajaran kelima : selalu bawalah kunci rumah kemanapun pergi. Karena demi keamanan, pintu depan rumah akan selalu dikunci ketika tidak ada orang. Ingat, selalu membawa kunci rumah kemanapun pergi akan menyelamatkan dari peristiwa terkunci di luar dalam keadaan basah kuyup.

Handphone ku telah menghabiskan 2 lagu Plain White T’s, satu surat Al Mulk dan Al Qalam ketika pertolongan datang (baca : sang pembawa kunci rumah). Akhirnya hari itu dittutup dengan tidur pukul 19.00. Lupa kalau pukul 19.30 nya ada ajakan syuro chatting. (afwan L. Hingga esok hari, tak nampak ada gejala-gejala tidak beres dari tubuh yang habis setengah hari kehujanan. Pelajaran keenam : tidur cukup dan berkualitas bisa menghindarkanmu dari gejala-gejala tidak beres setelah setengah hari kehujanan. he

Lihatlah, dalam beberapa jam saja hujan sudah mengajarkan banyak hal. Padahal Sudah berapa banyak hujan yang kita temui selama hidup. Karena setiap penggal peristiwa bisa mengajarkan kita banyak hal jika mau sedikit saja berfikir. Itu hanya sepenggal lakon ku bersama hujan hari itu. Enjoy !!!

Dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, dan bahtera yang berlayar di lautan untuk kemaslahatan manusia, dan air yang dikirimkan Tuhan dari langit - yang dengannya dihidupkanNya bumi sesudah mati (kering) dan disebarkanNya berbagai jenis mahluk - dan angin serta awan yang bergerak dengan patuhnya ke berbagai arah di antara langit dan bumi; sungguh terdapat tanda-tanda bagi mereka yang menggunakan akalnya.
(Qs. Al-Baqarah: 164)

Purnama Menatap Dunia . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates